Kepemimpinan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan ini. Manusia secara alami cenderung membentuk kelompok. Keberadaan seorang pemimpin sangatlah penting di setiap kelompok tersebut. Pemimpin berperan sebagai model dan pemandu bagi anggota kelompok. Seperti Indonesia yang telah melaksanakan pesta demokrasi pada tanggal 14 Februari 2024 kemarin. Sebagai bangsa yang sejati wajib melakukan pencoblosan pada pemilu tersebut. tujuan dari pemilu ini adalah untuk menentukan pemimpin dan wakil pemimpin bangsa yakni presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Agama Islam mengajarkan semua aspek kehidupan mulai dari hal-hal yang kecil sampai hal-hal yang sangat kompleks. Pelajaran tersebut bisa dilihat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an juga membahas berbagai aspek kehidupan sosial dan politik, termasuk pembahasan tentang kepemimpinan. Dalam Al-Qur’an, ditemukan berbagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan kepemimpinan seperti Khalifah, Imam, dan Uli al-Amri.
Istilah pertama yang perlu dipahami adalah “Khalifah”. Dalam Al-Qur’an, istilah ini disebutkan sebanyak 127 kali. Maknanya mencakup berbagai arti seperti penggantian, meninggalkan, atau bahkan sebagai pengganti atau pewaris. Raharjo dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Alqur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci menulislan bahwa terdapat konteks di mana kata Khalifah ini juga memiliki konotasi negatif seperti pertikaian, pelanggaran janji, atau berbagai arti lainnya (Raharjo, 2002). Selain itu, dari akar kata “khalf” yang berarti sukses, pergantian, atau generasi penerus, muncul istilah “khilafah”. Menurut Ensiklopedia Islam, “khilafah” adalah istilah yang digunakan dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai lembaga politik Islam, dan memiliki sinonim dengan istilah “imamah” yang berarti kepemimpinan.
Ikhwan A dalam jurnalnya Sistem Kepemimpinan Islami: Instrumen Inti Pengambil Keputusan pada Lembaga Pendidikan Islam menyatakan bahwa Kepemimpinan Islami tidaklah bersifat mutlak atau otoriter. Sebaliknya, Islam menegaskan karakteristiknya sebagai sebuah bentuk kepemimpinan yang mengutamakan prinsip keseimbangan (Ikhwan, 2019). Kepemimpinan Islami ditandai dengan prinsip keseimbangan yang diimplementasikan melalui syura atau musyawarah. Rasulullah SAW memberikan contoh nyata dengan selalu mengadakan musyawarah dalam berbagai aspek, termasuk urusan kenegaraan, peperangan, dan kemaslahatan umum.
Kepercayaan bangsa yang diberikan kepada para pemimpin bangsa merupakan amanah yang sangat besar. Amanah ini bukan hanya menjadi kewajiban pemimpin kepada yang dipimpin, akan tetapi juga menjadi beban yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt. Pertanggungjawaban mulai dari cara mendapatkan amanah atau kepercayaan tersebut sampai pada akhir masa kepemimpinan. Oleh karena itu seorang pemimpin dalam perspektif Islam diharapkan untuk memimpin dengan adil, bijaksana, dan penuh tanggung jawab, memastikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh komunitas. Dengan menyadari kepercayaan ini, seorang pemimpin Muslim diingatkan untuk melaksanakan tugasnya dengan kesadaran akan pertanggungjawaban di akhirat, memastikan bahwa kepercayaan tersebut dijalankan dengan integritas dan ketulusan hati.
Mendapatkan kepercayaan dari banyak orang adalah kehebatan tersendiri. Karena menjadi seorang pemimpin perlu membutuhkan komitmen pada prinsip-prinsip atau visi misi yang telah dipaparkan, sehingga bangsa akan mematuhi semua peraturan yang telah disusun. Selain itu menjadi seorang pemimpin juga harus menjadi teladan atau uswatun hasanah bagi bangsanya. Dalam Islam seorang pemimpin berarti meneladani atau berpusat pada Rasullullah Nabi Muhammad saw. Ketika seorang pemimpin mampu mematuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, maka tingkat kepatuhan dan ketaatan dari anggota akan menjadi optimal.
Ditegaskan dalam Al-Qur’an, terutama dalam surat Al-Mu’minun ayat 8-11:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ ۘ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوٰرِثُوْنَ ۙ الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Artinya: (Sungguh beruntung pula) orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka. Orang-orang yang memelihara salat mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (Yaitu) orang-orang yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.
Konsep ini memberikan gambaran tentang kualifikasi calon pemimpin yang ideal. Konsep ayat ini mencakup hal-hal berikut:
- Menjaga amanah merupakan prinsip penting dalam Islam terutama dalam konteks kepemimpinan. Dalam Islam, kepemimpinan harus dilaksanakan dengan integritas dan kejujuran yang sepenuhnya. Seorang pemimpin diberi amanah untuk menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya, termasuk tanggung jawab terhadap rakyat atau bawahannya yang dipimpinnya. Prinsip ini menjadi dasar utama dalam melaksanakan tugas kepemimpinan sesuai ajaran Islam
- Menjaga komitmen agama adalah penting bagi seorang pemimpin. Menjalankan shalat dengan tekun menjadi contoh yang kuat bagi para pengikutnya, memperkuat hubungan dengan Tuhan, dan menegaskan komitmen pada ajaran agama. Shalat menjadi kunci dalam membentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab dan berintegritas dalam konteks keislaman.
- Menjaga ketaatan beragama adalah penting bagi seorang pemimpin Islam. Melaksanakan shalat dengan tekun menjadi contoh kuat bagi pengikutnya, memperkuat hubungan dengan Tuhan, dan menegaskan komitmen terhadap ajaran agama. Shalat menjadi sarana penting dalam membentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab dan berintegritas dalam konteks keislaman.
- Pewarisan Surga Firdaus merupakan janji bagi mereka yang menjalankan amanah dengan baik, memenuhi komitmen, dan dengan sungguh-sungguh melaksanakan shalat. Mereka akan menerima warisan Surga Firdaus, derajat tertinggi di surga, sebagai imbalan atas integritas dan keadilan yang mereka tunjukkan selama masa kepemimpinan mereka.
Kesopanan dan sifat-sifat yang diinginkan dalam seorang pemimpin harus dipenuhi. Sikap dan perilakunya membahagiakan orang lain dan menunjukkan daya tariknya terhadap yang dipimpin. Seorang pemimpin yang berkualitas harus memiliki kepribadian sesuai dengan norma-norma agama Islam, hukum, adat istiadat, nilai-nilai masyarakat, dan kepentingan bangsa. Rakyat juga seharusnya memiliki sikap tertentu terhadap pemimpin yang didasarkan pada etika Islam, dengan selalu mendoakan keberhasilan kepemimpinan dan kesesuaian dengan kehendak Allah.
Ali Muhtarom dan Syaifullah menuliskan kriteria seorang pemimpin dalam konteks hadits, diantaranya:
- Memiliki sifat kepemimpinan Qurayshi, mencakup afiliasi yang baik, kemampuan memobilisasi massa, keahlian ekonomi, kebijakan birokrat, dan tata krama.
- Profesional dan kompeten, mengacu pada kepemimpinan profetik yang bersumber dari wahyu Rasulullah saw.
- Kemampuan pelaksanaan tugas, termasuk kondisi jasmani dan rohani yang baik, ketaatan pada hukum yang berlaku, keberanian dalam pertempuran, pemahaman strategi perang, dan kemampuan menggerakkan masyarakat.
- Berdasarkan kehendak rakyat, dengan adanya baiat atau perjanjian antara rakyatdan penguasa yang diwakili olehmajlis umatatau majlis syura
- Prinsip musyawarah, di mana pemilihan pemimpin melibatkan persetujuan mayoritas masyarakat, dapat dalam bentuk demokrasi langsung atau sistem perwakilan. Meskipun Rasulullah tidak menetapkan mekanisme pengangkatan pemimpin secara eksplisit, prinsip musyawarah dianggap sebagai panduanutama dalam proses tersebut. Partisipasi aktif rakyat memiliki signifikansi besar dalam memperkuat hubungan yang saling memahami antara umat dan penguasa
Setelah membahas mengenai kepemimpinan dalam konteks Islam dan pentingnya memiliki kepemimpinan yang sesuai dengan ajaran agama, kita dapat melihat bahwa fiqih siyasah memberikan pandangan yang kaya akan kualifikasi yang dibutuhkan bagi calon pemimpin legislatif dalam masyarakat Islam. Salah satu kualifikasi utama yang disorot dalam fiqih siyasah adalah keadilan. Menurut ajaran Islam, seorang pemimpin harus adil dalam memimpin rakyatnya. Artinya, ia harus mengambil keputusan yang berdasarkan keadilan dan kesetaraan bagi semua warga negara, tanpa memihak kepada kelompok tertentu atau golongan kepentingan. Selain itu, kepemimpinan dalam Islam juga menekankan pentingnya integritas dan kejujuran. Seorang pemimpin harus memiliki integritas yang tinggi dan menjalankan amanah serta komitmen yang telah dipercayakan kepadanya. Hal ini mencakup kejujuran dalam tindakan dan keputusan yang diambil, serta ketegasan dalam menegakkan prinsip-prinsip moral dan etika.
Kemampuan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat juga merupakan kualifikasi penting bagi seorang pemimpin legislatif menurut fiqih siyasah. Seorang pemimpin harus mampu mendengarkan aspirasi dan kebutuhan rakyatnya, serta bekerja sama dengan mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara bersama-sama. Selain itu, seorang pemimpin menurut fiqih siyasah juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang hukum-hukum Islam dan prinsip-prinsip syariah yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Hal ini penting agar ia dapat membuat keputusan yang sesuai dengan ajaran agama dan memberikan kontribusi positif bagi kemajuan dan kesejahteraan umat.
Dengan memperhatikan kualifikasi-kualifikasi tersebut, masyarakat Islam diharapkan dapat memilih pemimpin yang memiliki integritas, keadilan, dan kompetensi yang diperlukan untuk memimpin dengan baik dan bertanggung jawab sesuai dengan ajaran agama Islam dan prinsip-prinsip fiqih siyasah.
Sumber:
Al-Qur’an, L. P. M. (2021). Qur’an Kemenag in Microsoft Word. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia.
Ikhwan, A. (2019). Sistem Kepemimpinan Islami: Instrumen Inti Pengambil Keputusan pada Lembaga Pendidikan Islam. Istawa: Jurnal Pendidikan Islam , 111-154.
Raharjo, M. D. (2002). Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina.
Ali Muhtarom dan Syaifullah. (2024). Kiat Memilih Seorang Pemimpin dalam Konteks Hadis. Mu’allim, Vol. 06. No. 01.