Kebahagiaan adalah tujuan yang diinginkan oleh setiap manusia. Sudahkah kita bahagia ataukah hanya pura-pura bahagia? Dan Apakah kita benar-benar memahami apa yang membuat kita bahagia?
Secara harfiah, kata ‘bahagia’ merupakan kata sifat yang diartikan sebagai keadaan atau perasaan senang tenteram dan bebas dari segala yang menyusahkan. Sedangkan ‘kebahagiaan’ berarti perasaan bahagia; kesenangan dan ketenteraman hidup lahir batin; keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin.
Perasaan bahagia dapat berasal dari hasil refleksi diri tentang kondisi yang sedang dialami dan dirasakan sekarang. Seringkali manusia keliru menempatkan standar kebahagiaan, yakni meletakkan alasan bahagia hanya pada hal-hal diluar batas kuasanya sehingga menjadi kesulitan untuk bahagia. Ada yang berkata bahwa bahagia akan datang jika sudah memiliki ini dan itu hingga melupakan yang sudah dimiliki sekarang. Kemudian jika sesuatu yang diinginkan tersebut tidak tercapai atau tidak jadi kenyataan, maka akan bersedih dan seakan-akan kehilangan kebahagiaan. Sejatinya dalam pandangan Islam, kebahagiaan bukan hanya tentang kenikmatan duniawi, tetapi juga tentang kedamaian ruhani dan hubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Modern, Buya Hamka menyimpulkan bahwa derajat bahagia manusia menurut Rasululloh itu sesuai akalnya, karena akallah yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk, akal yang menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu yang dituju dalam perjalanan hidup. Bertambah sempurna, bertambah indah dan bertambah murni akal maka bertambah pulalah tinggi derajat bahagia yang manusia dapat capai.
Selain kebahagiaan yang menjadi esensi tujuan manusia, ada satu hal yang menjadi substansi dari kebahagiaan itu sendiri yakni kebaikan. Ibnu Miskawaih membuat perbedaan antara kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan bersifat umum dan merupakan tujuan dari sesuatu, sedangkan kebahagiaan merupakan akhir dari kebaikan. Kebahagiaan menurutnya adalah kebaikan yang paling utama dan sempurna diantara seluruh kebaikan, serta menjadi tujuan akhir dari kebaikan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi tuntunan kepada kita agar berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala meminta kebaikan dunia dan akhirat.
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka. (QS. Al-Baqarah: 201)
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Doa sapu jagad ini berisi permintaan kebaikan di dunia seluruhnya dan dihindarkan dari seluruh kejelekan”. Inilah yang menjadi substansi dan standar kebahagiaan kita sesungguhnya yakni kebaikan dunia, kebaikan akhirat dan terbebas dari api neraka. Muara dari ketiga hal diatas adalah kita akan bahagia jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rahmatNya kepada kita.
Karakteristik Orang yang Bahagia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ سَعۡيَكُمۡ لَشَتّٰىؕ-٤- فَاَمَّا مَنۡ اَعۡطٰى وَاتَّقٰىۙ -٥- وَصَدَّقَ بِالۡحُسۡنٰىۙ -٦- فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلۡيُسۡرٰىؕ -٧
“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda (4) Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa (5) dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga) (6) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (7)” (QS. Surat Al-Lail, ayat 4-7)
Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan karakter atau perilaku manusia yang mendapatkan kebahagiaan, yaitu memberi, bertakwa, dan menunjukkan yang terbaik. Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata ayat-ayat ini menggabungkan seluruh sebab-sebab yang dengannya kebahagian dapat diraih yaitu ada sebab mengerjakan perintah Allah (أَعْطَىٰ), dan menjauhi segala larangan (وَٱتَّقَىٰ), serta membenarkan segala yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya (وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ). Maka barangsiapa yang mengerjakan tiga perkara diatas Allah akan memudahkan segala urusannya (فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ).
Selanjutnya karakteristik orang yang bahagia lain sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al Wabilush Shoyyib adalah bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar Ketika ditimpa musibah dan memohon ampun pada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika telah terjerumus dalam dosa.
Pada akhirnya, mari kita kembalikan konsep kebahagiaan dengan yang sebenarnya. Pada hal-hal yang menjadi kuasa kita dan kita mampu mengendalikannya. Tidak perlu menunggu sesuatu yang kita inginkan terwujud, berbahagialah dengan apa yang kita miliki saat ini. Tidak perlu menunggu orang lain berbuat baik kepada kita, berbahagialah ketika kita berbuat baik untuk orang lain. Tidak perlu menunggu waktu agar kita bahagia, kendalikan bahagia itu sekarang juga maka kitapun akan bahagia. Karena sejatinya kebahagiaan ada dalam diri kita di setiap sel dan atom tubuh kita. (IS)